Selasa, November 24, 2009

HUKUM HUKUM TERKAIT DENGAN QURBAN

Sekelumit Hukum-Hukum terkait dengan Al-Udh-hiyah (Qurban) dan Pensyari’atannya
Al-Udh-hiyah adalah hewan ternak yang disembelih pada hari-hari Adh-ha disebabkan adanya ‘Id (Hari Raya), dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah ‘azza wajalla.
Amalan ini merupakan salah satu bentuk ibadah yang disyari’atkan dalam Kitabullah, Sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam, dan ijma’ (kesepakatan) kaum muslimin.

Adapun dalam Kitabullah, Allah ta’ala berfirman:

“Maka dirikanlah shalat karena Rabbmu dan berqurbanlah.” (Al-Kautsar: 2)
Dan firman-Nya:

“Katakanlah: Sesungguhnya shalatku, sesembelihanku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).” (Al-An’am: 162-163)

Waktu Pelaksanaan Al-Udh-hiyah

Al-Udh-hiyah adalah ibadah yang tertentu waktunya, bagaimanapun kondisinya tidak boleh dilaksanakan sebelum waktunya, dan tidak boleh pula dilaksanakan setelah keluar dari waktunya, kecuali jika mengakhirkannya dalam rangka mengqadha’ disebabkan ‘udzur tertentu.

Awal waktu pelaksanaannya adalah setelah shalat ‘Id bagi yang mengerjakan shalat ‘Id, seperti orang-orang yang tinggal di daerahnya (tidak dalam keadaan safar). Atau juga dilaksanakan setelah ada kesempatan bagi orang-orang yang tidak mengerjakan shalat ‘Id, seperti musafir dan penduduk yang tinggal di pedalaman (Badui).

Barangsiapa yang menyembelih sebelum shalat (’Id) maka hewan yang disembelih tadi adalah hewan sembelihan biasa, bukan termasuk Udh-hiyah dan wajib untuk menyembelih lagi dengan tata cara yang sama setelah shalat sebagai penggantinya, hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Al-Barra’ bin Azib radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:


“Barangsiapa yang menyembelih sebelum shalat, maka sesungguhnya itu hanya daging sembelihan biasa yang disuguhkan untuk keluarganya saja, dan bukan termasuk nusuk (sembelihan qurban) sedikitpun.” (Ahmad dan Ibnu Majah)
Dan diriwayatkan pula oleh Al-Bukhari dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bahwa
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:


“Dan barangsiapa yang menyembelih setelah shalat, maka sempurnalah nusuk (ibadah qurban)nya dan mencocoki sunnah kaum muslimin.”

JENIS JENIS HEWAN YG LAYAK DIJADIKAN QURBAN

Jenis (Keadaan) Hewan Yang Layak dan Memenuhi Kriteria Untuk Dijadikan Hewan Qurban
Hewan yang dijadikan qurban adalah dari jenis hewan ternak saja, berdasarkan firman Allah ta’ala:

“Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syari’atkan penyembelihan (qurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah dirizkikan Allah kepada mereka.” (Al-Hajj: 34).
Hewan ternak yang dimaksud di sini adalah unta, sapi, kambing baik dari jenis dha’n (domba) maupun ma’z (kambing jawa). Demikain yang dinyatakan Ibnu Katsir, dan beliau berkata: “Ini adalah pendapat Al-Hasan, Qatadah, dan yang lainnya. Ibnu Jarir berkata: Demikian juga jenis seperti inilah yang dimaksud di kalangan orang Arab.” -selesai penukilan-.

Dan juga berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam

“Janganlah kalian menyembelih (hewan qurban) kecuali musinnah. Kecuali jika kalian kesulitan mendapatkannya, maka dibolehkan bagi kalian untuk menyembelih jadza’ah (yang berumur muda) dari jenis dha’n.” (HR. Muslim)

Musinnah adalah Tsaniyah. Tsaniyah pada Unta adalah unta yang genap berumur lima tahun. Tsaniyah pada Sapi adalah sapi yang genap berumur dua tahun. Tsaniyah pada Kambing (baik dari jenis dha’n maupun ma’z) adalah yang genap berumur satu tahun.
Adapun jadza’ dari jenis dha’n adalah yang genap berumur setengah tahun.

Dan juga karena Udh-hiyah adalah merupakan ibadah sebagaimana Hadyu (sesembelihan yang dilakukan jama’ah haji), sehingga amalan ini tidak disyari’atkan kecuali dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Tidak pernah dinukilkan dari beliau bahwa beliau menyembelih untuk hadyu maupun qurban dari selain unta, sapi, dan kambing.

Yang paling afdhal (utama) adalah unta, kemudian sapi, kemudian dha’n (domba), kemudian ma’z (Kambing Jawa), kemudian sepertujuh dari unta, dan kemudian sepertujuh dari sapi.
Dan yang paling afdhal dari itu semua adalah yang paling gemuk, banyak dagingnya, sempurna fisiknya, dan bagus dipandang.

Dalam Shahih Al-Bukhari dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu

“Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dahulu berqurban dengan menyembelih dua kambing kibasy yang bertanduk dan amlah.”
Amlah adalah yang warna putihnya bercampur dengan hitam.
Keadaan Hewan Qurban yang Harus Dihindari
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah ditanya: “Hewan qurban yang bagaimana yang hendaknya dihindari?” Maka beliau memberikan isyarat dengan tangannya dan bersabda:

“Ada empat, yaitu (1) yang pincang dan jelas pincangnya, (2) yang rusak matanya dan jelas kerusakannya, (3) yang sakit dan jelas sakitnya, dan (4) yang kurus dan tidak bersumsum.” (HR. Abu Dawud no. 2802, At-Tirmidzi no. 1502, Ibnu Majah no. 3144 dengan sanad yang dishahihkan oleh An-Nawawi rahimahullahu dalam Al-Majmu’ 8/227. )

Pada riwayat At-Tirmidzi disebutkan Al-’Ajfa’ (yang kurus), dan dalam riwayat An-Nasa’i disebutkan pengganti dari lafazh Al-Kasir (yang lemah).

Keempat keadaan ini telah disebutkan secara nash tentang larangannya dan belum memenuhi kriteria untuk dijadikan hewan qurban, yaitu:

1. Yang rusak matanya dan jelas kerusakannya, yaitu yang matanya cekung ataupun cembung. Jika hewan tadi tidak bisa melihat dengan matanya akan tetapi kerusakannya tidak nampak jelas, maka itu masih memenuhi kriteria. Akan tetapi jika selamat (sehat) dari kelainan tersebut, maka itu lebih baik.

2. Yang sakit dan jelas sakitnya, yaitu yang nampak pengaruh sakitnya pada hewan tersebut, seperti demam yang menghalanginya dari gembalaan (tidak bisa digembalakan), dan juga seperti kudis yang parah dan bisa merusak daging atau berpengaruh terhadap kesehatannya, atau yang semisalnya dari penyakit yang dianggap oleh orang-orang sebagai penyakit yang nyata. Jika pada hewan ada sifat malas atau tubuhnya lemah yang tidak menghalangi dari gembalaan (bisa digembalakan) dan dimakan, maka ini sudah mencukupi kriteria, akan tetapi jika dipilih hewan yang kondisinya lebih segar, maka itu lebih baik.

3. Yang pincang dan jelas pincangnya, yaitu yang tidak mampu berjalan bersama hewan-hewan lain yang sehat (sehingga selalu tertinggal). Jika hewan tersebut mengalami kepincangan yang ringan dan tidak menghalanginya dari berjalan bersama hewan-hewan yang lain (bisa berjalan normal seperti yang lainnya), maka ini sudah mencukupi kriteria, akan tetapi memilih hewan yang lebih sehat (tidak ada kepincangan padanya) itu lebih baik.

4. Yang lemah atau kurus tidak bersumsum, jika hewan tersebut kurus atau lemah tetapi masih ada sumsumnya, maka ini sudah mencukupi. Kecuali jika hewan tersebut mengalami kepincangan yang sangat jelas. Akan tetapi hewan yang gemuk dan sehat itu lebih baik.
Inilah empat keadaan hewan yang secara nash disebutkan dalam hadits tersebut tentang larangan menjadikannya sebagai hewan qurban. Para ulama juga berpendapat demikian. Al-Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdisi dalam kitab Al-Mughni mengatakan: “Kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat tentang tidak terpenuhinya kriteria binatang yang demikian kondisinya sebagai hewan qurban.” -Selesai penukilan-.

Termasuk juga hewan yang tidak boleh dijadikan qurban adalah jika kondisinya semakna (seperti) dengan empat keadaan di atas atau bahkan yang lebih parah dari itu. Masuk dalam kategori ini adalah:

1. Yang mengalami kebutaan, yaitu yang tidak bisa melihat dengan matanya. Hewan ini lebih layak untuk tidak memenuhi kriteria hewan qurban, karena kondisinya lebih parah daripada hewan “yang rusak matanya dan jelas kerusakannya.”
Adapun hewan yang menderita rabun senja, yakni bisa melihat hanya pada waktu siang dan tidak bisa melihat pada malam hari, maka madzhab Asy-Syafi’i menyatakan bahwa itu sudah mencukupi kriteria, karena yang demikian tidak tergolong hewan “yang rusak matanya dan jelas kerusakannya”, dan tidak pula termasuk yang buta terus menerus sehingga mempengaruhi penggembalaan dan perkembangbiakannya. Akan tetapi hewan yang tidak menderita seperti itu lebih baik.

2. Yang mengalami sakit pencernaan, sampai dia bisa membuang kotorannya (berak). Karena penyakit pada pencernaan itu akan menimbulkan bahaya seperti penyakit yang nyata. Jika dia berhasil membuang kotorannya (berak), maka hilanglah kondisi kritis pada hewan tersebut dan sudah bisa mencukupi kriteria untuk dijadikan hewan qurban jika tidak terjadi dengannya penyakit yang jelas.

3. Hewan yang mau melahirkan sampai dia selamat (ketika melahirkan), karena kondisi seperti ini sangat berbahaya, terkadang bisa memutus kehidupannya (mati) sehingga diserupakan dengan penyakit yang nyata. Bisa saja hewan tersebut memenuhi kriteri untuk dijadikan hewan qurban jika melahirkan itu memang menjadi kebiasaan baginya dan tidak mengalami masa yang membuat dagingnya berubah dan rusak.

4. Hewan yang mengalami sesuatu yang menyebabkan kematian seperti tercekik, terpukul, jatuh, ditanduk, dan diterkam binatang buas. Karena yang demikian kondisinya itu lebih pantas untuk tidak mencukupi kriteria sebagai hewan qurban daripada hewan “yang menderita sakit yang jelas sakitnya” dan hewan “yang pincang dan jelas kepincangannya.”

5. Az-Zumna, yaitu hewan yang lemah tidak mampu berjalan karena penyakit tertentu, ini lebih pantas untuk tidak mencukupi kriteria sebagai hewan qurban daripada hewan “yang pincang dan jelas kepincangannya.” Adapun hewan yang lemah tidak mampu berjalan karena kegemukan, maka madzhab Malikiyah meyatakan hal itu sudah mencukupi karena tidak adanya penyakit pada hewan tersebut dan tidak ada cacat pada tubuhnya.

6. Hewan yang terpotong salah satu tangan atau kakinya, karena ini juga lebih pantas untuk tidak mencukupi kriteria sebagai hewan qurban daripada “yang pincang dan jelas kepincangannya.” Dan juga karena telah hilang bagian yang vital dari tubuhnya sehingga diserupakan dengan hewan yang terpotong ekornya.

Inilah di antara cacat yang menghalangi terpenuhinya kriteria ideal hewan qurban, yaitu ada sepuluh, empat di antaranya telah disebutkan secara nash dan yang enam adalah dengan qiyas. Jika didapati salah satu dari keadaan-keadaan (cacat) tersebut pada hewan ternak, maka tidak boleh berqurban dengannya karena tidak terpenuhinya salah satu syarat yaitu selamat (sehat) dari cacat yang bisa menghalangi terpenuhinya kriteria ideal hewan qurban.

Apakah Boleh Berqurban Atas Nama Mayit (Orang yang Sudah Meninggal Dunia)?

Pada asalnya berqurban itu disyari’atkan terhadap orang-orang yang masih hidup sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para shahabatnya dahulu berqurban untuk diri mereka sendiri dan keluarganya. Adapun permasalahan yang diyakini sebagian orang awam yaitu pengkhususan qurban untuk orang yang sudah meninggal, maka ini tidak ada dasarnya dalam syari’at ini.

Berqurban atas nama orang yang sudah meninggal ada tiga macam:

1. Berqurban atas nama orang yang sudah mati tetapi sifatnya hanya mengikuti yang masih hidup, seperti seseorang berqurban atas nama dirinya sendiri dan keluarganya, dan dia meniatkan keluarga yang dimaksud di sini adalah yang masih hidup maupun yang sudah meninggal. Dasar dari amalan ini adalah qurban yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau berqurban atas nama diri beliau sendiri dan keluarganya, dan di antara anggota keluarganya ada yang sudah meninggal sebelumnya.

2. Berqurban atas nama mayit dalam rangka menjalankan wasiatnya. Dasar dari amalan ini adalah firman Allah ta’ala:

“Maka barangsiapa yang mengubah wasiat itu, setelah ia mendengarnya, maka sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Al Baqarah: 181)

3. Berqurban atas nama mayit dalam rangka shadaqah yang terpisah (berdiri sendiri) dari yang masih hidup, maka ini diperbolehkan. Para ulama madzhab Al-Hanabilah menyatakan bahwa pahalanya akan sampai kepada si mayit dan bisa memberikan manfaat baginya, atas dasar qiyas dengan amalan shadaqah atas nama dia.

Akan tetapi kami tidak memandang bahwa pengkhususan qurban atas nama orang yang sudah meninggal itu merupakan sunnah (tuntutan Nabi), karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah mengkhususkan berqurban atas nama seorang pun dari orang-orang yang sudah meninggal. Tidak pernah beliau berqurban atas nama paman beliau, Hamzah, padahal dia adalah salah seorang kerabat yang paling mulia di sisi beliau. Dan tidak pula beliau berqurban atas nama anak-anaknya yang telah meninggal ketika beliau masih hidup, tiga anak perempuan yang telah menikah dan tiga anak laki-laki yang masih kecil. Dan tidak pula beliau berqurban atas nama istri beliau, Khadijah padahal beliau adalah salah seorang istri yang paling beliau cintai. Dan tidak pernah pula disebutkan dari para shahabat pada zamannya, bahwa salah seorang dari mereka berqurban atas nama seseorang yang sudah meninggal.

Dan kami juga melihat di antara kesalahan yang dilakukan sebagian orang adalah mereka berqurban (menyembelih hewan) atas nama orang yang telah meninggal pada awal tahun kematiannya yang mereka namakan dengan Udh-hiyatul Hufrah. Mereka berkeyakinan bahwa tidak boleh bagi seorang pun untuk bersama-sama dalam meraih pahala dengan si mayit tersebut. Atau mereka berqurban dari harta orang yang sudah meninggal dalam rangka shadaqah ataupun menjalankan wasiatnya, dan tidak berqurban atas nama diri sendiri dan keluarganya. Kalau seandainya mereka mengetahui bahwa seseorang jika berqurban dari hartanya sendiri atas nama diri dan keluarganya baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal, maka mereka tidak akan meninggalkan yang seperti ini untuk berpaling kepada amalan mereka (sebelumnya) tersebut.

Hal-Hal Yang Harus Dijauhi Oleh Seseorang Yang Hendak Berqurban

Jika seseorang hendak berqurban dan telah memasuki bulan Dzulhijjah – baik dengan cara ru’yatul hilal maupun menyempurnakan bulan Dzulqa’dah menjadi 30 hari – maka diharamkan baginya untuk mengambil (memotong) sedikitpun dari rambut, kuku, dan kulitnya sampai dia benar-benar telah menyembelih hewan qurbannya.

Berdasarkan hadits Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

Jika telah masuk sepukuh hari pertama bulan Dzulhijjah, dan salah seorang dari kalian hendak menyembelih hewan qurban, maka tahanlah (tidak memotong) dari rambut dan kukunya.” (HR. Ahmad dan Muslim)

Dan dalam lafazh yang lain:

Maka janganlah menyentuh (mengambil) rambut dan kulitnya sedikitpun sampai dia melaksanakan qurbannya.”

Dan jika niat untuk berqurban itu muncul di pertengahan sepuluh hari tersebut, maka hendaknya dia menahan diri (untuk tidak mengambil/memotong rambut, kuku, dan kulitnya) mulai saat itu juga, dan dia tidak berdosa jika pernah mengambil/memotongnya ketika sebelum berniat.

Hikmah larangan ini adalah bahwasamya seorang yang berqurban, yang berarti dia turut serta bersama jama’ah haji dalam melakukan sebagian amaliah manasik – yaitu dalam bentuk menyembelih hewan qurban – maka dia pun juga harus turut serta (dengan para jama’ah haji) dalam hal sebagian kekhususan (keadaan ketika) ihram, berupa menahan diri (tidak mengambil/memotong) rambut dan yang semisalnya.
Atas dasar ini, maka dibolehkan bagi keluarga orang yang hendak berqurban untuk mengambil/memotong rambut, kuku, dan kulitnya pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah tersebut.

Hukum ini khusus berlaku bagi orang yang hendak berqurban. Adapun bagi Al-Mudhahha ‘Anhu (pihak yang diatasnamakan padanya qurban), maka tidak ada kaitannya sama sekali dengan hukum tersebut karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Dan salah seorang dari kalian hendak menyembelih hewan qurban …”
Dan tidak mengatakan:

“… ataupun juga bagi yang diatasnamakan padanya qurban.”

Di samping itu juga karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dahulu pernah berqurban dengan mengatasnamakan keluarganya, namun tidak pernah dinukilkan dari beliau bahwa beliau memerintahkan mereka (keluarganya) untuk menahan diri (tidak mengambil/memotong) itu semua.

Dan jika orang yang hendak berqurban mengambil/memotong sedikit saja dari rambut, kuku, ataupun kulitnya, maka wajib atas dia untuk bertaubat kepada Allah ta’ala dan bertekad untuk tidak mengulanginya lagi. Tidak diwajibkan bagi dia untuk membayar kaffarah, dan tidak pula menghalangi dia untuk menyembelih hewan qurbannya sebagaimana yang disangka oleh sebagian orang awam [2].
Dan jika mengambil/memotongnya itu disebabkan lupa atau tidak mengerti hukumnya, atau karena rambut tersebut rontok tanpa disengaja, maka tidak ada dosa baginya. Dan jika memang benar-benar sangat diperlukan untuk mengambil/memotongnya (karena darurat), maka yang demikian diperbolehkan baginya dan tidak terkenai tanggungan (dosa) sedikitpun, misalnya ketika kukunya patah yang menyebabkan gangguan padanya, sehingga dia harus memotongnya, ataupun rambutnya terurai ke bawah sampai mengenai kedua matanya sehingga dia harus menghilangkannya, dan juga karena sangat dibutuhkan untuk pengobatan luka dan yang semisalnya.

Diambil dari Maqalat Wa Fatawa Wa Rasail
Fadhilatusy Syaikh Al ‘Allamah Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullahu ta’ala.
diterjemahkan oleh : Ust. Abu ‘Abdillah Kediri dan Abu ‘Amr Ahmad

1 komentar:

オテモヤン mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.