Selasa, November 24, 2009

HUKUM HUKUM TERKAIT DENGAN QURBAN

Sekelumit Hukum-Hukum terkait dengan Al-Udh-hiyah (Qurban) dan Pensyari’atannya
Al-Udh-hiyah adalah hewan ternak yang disembelih pada hari-hari Adh-ha disebabkan adanya ‘Id (Hari Raya), dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah ‘azza wajalla.
Amalan ini merupakan salah satu bentuk ibadah yang disyari’atkan dalam Kitabullah, Sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam, dan ijma’ (kesepakatan) kaum muslimin.

Adapun dalam Kitabullah, Allah ta’ala berfirman:

“Maka dirikanlah shalat karena Rabbmu dan berqurbanlah.” (Al-Kautsar: 2)
Dan firman-Nya:

“Katakanlah: Sesungguhnya shalatku, sesembelihanku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).” (Al-An’am: 162-163)

Waktu Pelaksanaan Al-Udh-hiyah

Al-Udh-hiyah adalah ibadah yang tertentu waktunya, bagaimanapun kondisinya tidak boleh dilaksanakan sebelum waktunya, dan tidak boleh pula dilaksanakan setelah keluar dari waktunya, kecuali jika mengakhirkannya dalam rangka mengqadha’ disebabkan ‘udzur tertentu.

Awal waktu pelaksanaannya adalah setelah shalat ‘Id bagi yang mengerjakan shalat ‘Id, seperti orang-orang yang tinggal di daerahnya (tidak dalam keadaan safar). Atau juga dilaksanakan setelah ada kesempatan bagi orang-orang yang tidak mengerjakan shalat ‘Id, seperti musafir dan penduduk yang tinggal di pedalaman (Badui).

Barangsiapa yang menyembelih sebelum shalat (’Id) maka hewan yang disembelih tadi adalah hewan sembelihan biasa, bukan termasuk Udh-hiyah dan wajib untuk menyembelih lagi dengan tata cara yang sama setelah shalat sebagai penggantinya, hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Al-Barra’ bin Azib radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:


“Barangsiapa yang menyembelih sebelum shalat, maka sesungguhnya itu hanya daging sembelihan biasa yang disuguhkan untuk keluarganya saja, dan bukan termasuk nusuk (sembelihan qurban) sedikitpun.” (Ahmad dan Ibnu Majah)
Dan diriwayatkan pula oleh Al-Bukhari dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bahwa
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:


“Dan barangsiapa yang menyembelih setelah shalat, maka sempurnalah nusuk (ibadah qurban)nya dan mencocoki sunnah kaum muslimin.”

JENIS JENIS HEWAN YG LAYAK DIJADIKAN QURBAN

Jenis (Keadaan) Hewan Yang Layak dan Memenuhi Kriteria Untuk Dijadikan Hewan Qurban
Hewan yang dijadikan qurban adalah dari jenis hewan ternak saja, berdasarkan firman Allah ta’ala:

“Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syari’atkan penyembelihan (qurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah dirizkikan Allah kepada mereka.” (Al-Hajj: 34).
Hewan ternak yang dimaksud di sini adalah unta, sapi, kambing baik dari jenis dha’n (domba) maupun ma’z (kambing jawa). Demikain yang dinyatakan Ibnu Katsir, dan beliau berkata: “Ini adalah pendapat Al-Hasan, Qatadah, dan yang lainnya. Ibnu Jarir berkata: Demikian juga jenis seperti inilah yang dimaksud di kalangan orang Arab.” -selesai penukilan-.

Dan juga berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam

“Janganlah kalian menyembelih (hewan qurban) kecuali musinnah. Kecuali jika kalian kesulitan mendapatkannya, maka dibolehkan bagi kalian untuk menyembelih jadza’ah (yang berumur muda) dari jenis dha’n.” (HR. Muslim)

Musinnah adalah Tsaniyah. Tsaniyah pada Unta adalah unta yang genap berumur lima tahun. Tsaniyah pada Sapi adalah sapi yang genap berumur dua tahun. Tsaniyah pada Kambing (baik dari jenis dha’n maupun ma’z) adalah yang genap berumur satu tahun.
Adapun jadza’ dari jenis dha’n adalah yang genap berumur setengah tahun.

Dan juga karena Udh-hiyah adalah merupakan ibadah sebagaimana Hadyu (sesembelihan yang dilakukan jama’ah haji), sehingga amalan ini tidak disyari’atkan kecuali dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Tidak pernah dinukilkan dari beliau bahwa beliau menyembelih untuk hadyu maupun qurban dari selain unta, sapi, dan kambing.

Yang paling afdhal (utama) adalah unta, kemudian sapi, kemudian dha’n (domba), kemudian ma’z (Kambing Jawa), kemudian sepertujuh dari unta, dan kemudian sepertujuh dari sapi.
Dan yang paling afdhal dari itu semua adalah yang paling gemuk, banyak dagingnya, sempurna fisiknya, dan bagus dipandang.

Dalam Shahih Al-Bukhari dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu

“Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dahulu berqurban dengan menyembelih dua kambing kibasy yang bertanduk dan amlah.”
Amlah adalah yang warna putihnya bercampur dengan hitam.
Keadaan Hewan Qurban yang Harus Dihindari
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah ditanya: “Hewan qurban yang bagaimana yang hendaknya dihindari?” Maka beliau memberikan isyarat dengan tangannya dan bersabda:

“Ada empat, yaitu (1) yang pincang dan jelas pincangnya, (2) yang rusak matanya dan jelas kerusakannya, (3) yang sakit dan jelas sakitnya, dan (4) yang kurus dan tidak bersumsum.” (HR. Abu Dawud no. 2802, At-Tirmidzi no. 1502, Ibnu Majah no. 3144 dengan sanad yang dishahihkan oleh An-Nawawi rahimahullahu dalam Al-Majmu’ 8/227. )

Pada riwayat At-Tirmidzi disebutkan Al-’Ajfa’ (yang kurus), dan dalam riwayat An-Nasa’i disebutkan pengganti dari lafazh Al-Kasir (yang lemah).

Keempat keadaan ini telah disebutkan secara nash tentang larangannya dan belum memenuhi kriteria untuk dijadikan hewan qurban, yaitu:

1. Yang rusak matanya dan jelas kerusakannya, yaitu yang matanya cekung ataupun cembung. Jika hewan tadi tidak bisa melihat dengan matanya akan tetapi kerusakannya tidak nampak jelas, maka itu masih memenuhi kriteria. Akan tetapi jika selamat (sehat) dari kelainan tersebut, maka itu lebih baik.

2. Yang sakit dan jelas sakitnya, yaitu yang nampak pengaruh sakitnya pada hewan tersebut, seperti demam yang menghalanginya dari gembalaan (tidak bisa digembalakan), dan juga seperti kudis yang parah dan bisa merusak daging atau berpengaruh terhadap kesehatannya, atau yang semisalnya dari penyakit yang dianggap oleh orang-orang sebagai penyakit yang nyata. Jika pada hewan ada sifat malas atau tubuhnya lemah yang tidak menghalangi dari gembalaan (bisa digembalakan) dan dimakan, maka ini sudah mencukupi kriteria, akan tetapi jika dipilih hewan yang kondisinya lebih segar, maka itu lebih baik.

3. Yang pincang dan jelas pincangnya, yaitu yang tidak mampu berjalan bersama hewan-hewan lain yang sehat (sehingga selalu tertinggal). Jika hewan tersebut mengalami kepincangan yang ringan dan tidak menghalanginya dari berjalan bersama hewan-hewan yang lain (bisa berjalan normal seperti yang lainnya), maka ini sudah mencukupi kriteria, akan tetapi memilih hewan yang lebih sehat (tidak ada kepincangan padanya) itu lebih baik.

4. Yang lemah atau kurus tidak bersumsum, jika hewan tersebut kurus atau lemah tetapi masih ada sumsumnya, maka ini sudah mencukupi. Kecuali jika hewan tersebut mengalami kepincangan yang sangat jelas. Akan tetapi hewan yang gemuk dan sehat itu lebih baik.
Inilah empat keadaan hewan yang secara nash disebutkan dalam hadits tersebut tentang larangan menjadikannya sebagai hewan qurban. Para ulama juga berpendapat demikian. Al-Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdisi dalam kitab Al-Mughni mengatakan: “Kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat tentang tidak terpenuhinya kriteria binatang yang demikian kondisinya sebagai hewan qurban.” -Selesai penukilan-.

Termasuk juga hewan yang tidak boleh dijadikan qurban adalah jika kondisinya semakna (seperti) dengan empat keadaan di atas atau bahkan yang lebih parah dari itu. Masuk dalam kategori ini adalah:

1. Yang mengalami kebutaan, yaitu yang tidak bisa melihat dengan matanya. Hewan ini lebih layak untuk tidak memenuhi kriteria hewan qurban, karena kondisinya lebih parah daripada hewan “yang rusak matanya dan jelas kerusakannya.”
Adapun hewan yang menderita rabun senja, yakni bisa melihat hanya pada waktu siang dan tidak bisa melihat pada malam hari, maka madzhab Asy-Syafi’i menyatakan bahwa itu sudah mencukupi kriteria, karena yang demikian tidak tergolong hewan “yang rusak matanya dan jelas kerusakannya”, dan tidak pula termasuk yang buta terus menerus sehingga mempengaruhi penggembalaan dan perkembangbiakannya. Akan tetapi hewan yang tidak menderita seperti itu lebih baik.

2. Yang mengalami sakit pencernaan, sampai dia bisa membuang kotorannya (berak). Karena penyakit pada pencernaan itu akan menimbulkan bahaya seperti penyakit yang nyata. Jika dia berhasil membuang kotorannya (berak), maka hilanglah kondisi kritis pada hewan tersebut dan sudah bisa mencukupi kriteria untuk dijadikan hewan qurban jika tidak terjadi dengannya penyakit yang jelas.

3. Hewan yang mau melahirkan sampai dia selamat (ketika melahirkan), karena kondisi seperti ini sangat berbahaya, terkadang bisa memutus kehidupannya (mati) sehingga diserupakan dengan penyakit yang nyata. Bisa saja hewan tersebut memenuhi kriteri untuk dijadikan hewan qurban jika melahirkan itu memang menjadi kebiasaan baginya dan tidak mengalami masa yang membuat dagingnya berubah dan rusak.

4. Hewan yang mengalami sesuatu yang menyebabkan kematian seperti tercekik, terpukul, jatuh, ditanduk, dan diterkam binatang buas. Karena yang demikian kondisinya itu lebih pantas untuk tidak mencukupi kriteria sebagai hewan qurban daripada hewan “yang menderita sakit yang jelas sakitnya” dan hewan “yang pincang dan jelas kepincangannya.”

5. Az-Zumna, yaitu hewan yang lemah tidak mampu berjalan karena penyakit tertentu, ini lebih pantas untuk tidak mencukupi kriteria sebagai hewan qurban daripada hewan “yang pincang dan jelas kepincangannya.” Adapun hewan yang lemah tidak mampu berjalan karena kegemukan, maka madzhab Malikiyah meyatakan hal itu sudah mencukupi karena tidak adanya penyakit pada hewan tersebut dan tidak ada cacat pada tubuhnya.

6. Hewan yang terpotong salah satu tangan atau kakinya, karena ini juga lebih pantas untuk tidak mencukupi kriteria sebagai hewan qurban daripada “yang pincang dan jelas kepincangannya.” Dan juga karena telah hilang bagian yang vital dari tubuhnya sehingga diserupakan dengan hewan yang terpotong ekornya.

Inilah di antara cacat yang menghalangi terpenuhinya kriteria ideal hewan qurban, yaitu ada sepuluh, empat di antaranya telah disebutkan secara nash dan yang enam adalah dengan qiyas. Jika didapati salah satu dari keadaan-keadaan (cacat) tersebut pada hewan ternak, maka tidak boleh berqurban dengannya karena tidak terpenuhinya salah satu syarat yaitu selamat (sehat) dari cacat yang bisa menghalangi terpenuhinya kriteria ideal hewan qurban.

Apakah Boleh Berqurban Atas Nama Mayit (Orang yang Sudah Meninggal Dunia)?

Pada asalnya berqurban itu disyari’atkan terhadap orang-orang yang masih hidup sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para shahabatnya dahulu berqurban untuk diri mereka sendiri dan keluarganya. Adapun permasalahan yang diyakini sebagian orang awam yaitu pengkhususan qurban untuk orang yang sudah meninggal, maka ini tidak ada dasarnya dalam syari’at ini.

Berqurban atas nama orang yang sudah meninggal ada tiga macam:

1. Berqurban atas nama orang yang sudah mati tetapi sifatnya hanya mengikuti yang masih hidup, seperti seseorang berqurban atas nama dirinya sendiri dan keluarganya, dan dia meniatkan keluarga yang dimaksud di sini adalah yang masih hidup maupun yang sudah meninggal. Dasar dari amalan ini adalah qurban yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau berqurban atas nama diri beliau sendiri dan keluarganya, dan di antara anggota keluarganya ada yang sudah meninggal sebelumnya.

2. Berqurban atas nama mayit dalam rangka menjalankan wasiatnya. Dasar dari amalan ini adalah firman Allah ta’ala:

“Maka barangsiapa yang mengubah wasiat itu, setelah ia mendengarnya, maka sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Al Baqarah: 181)

3. Berqurban atas nama mayit dalam rangka shadaqah yang terpisah (berdiri sendiri) dari yang masih hidup, maka ini diperbolehkan. Para ulama madzhab Al-Hanabilah menyatakan bahwa pahalanya akan sampai kepada si mayit dan bisa memberikan manfaat baginya, atas dasar qiyas dengan amalan shadaqah atas nama dia.

Akan tetapi kami tidak memandang bahwa pengkhususan qurban atas nama orang yang sudah meninggal itu merupakan sunnah (tuntutan Nabi), karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah mengkhususkan berqurban atas nama seorang pun dari orang-orang yang sudah meninggal. Tidak pernah beliau berqurban atas nama paman beliau, Hamzah, padahal dia adalah salah seorang kerabat yang paling mulia di sisi beliau. Dan tidak pula beliau berqurban atas nama anak-anaknya yang telah meninggal ketika beliau masih hidup, tiga anak perempuan yang telah menikah dan tiga anak laki-laki yang masih kecil. Dan tidak pula beliau berqurban atas nama istri beliau, Khadijah padahal beliau adalah salah seorang istri yang paling beliau cintai. Dan tidak pernah pula disebutkan dari para shahabat pada zamannya, bahwa salah seorang dari mereka berqurban atas nama seseorang yang sudah meninggal.

Dan kami juga melihat di antara kesalahan yang dilakukan sebagian orang adalah mereka berqurban (menyembelih hewan) atas nama orang yang telah meninggal pada awal tahun kematiannya yang mereka namakan dengan Udh-hiyatul Hufrah. Mereka berkeyakinan bahwa tidak boleh bagi seorang pun untuk bersama-sama dalam meraih pahala dengan si mayit tersebut. Atau mereka berqurban dari harta orang yang sudah meninggal dalam rangka shadaqah ataupun menjalankan wasiatnya, dan tidak berqurban atas nama diri sendiri dan keluarganya. Kalau seandainya mereka mengetahui bahwa seseorang jika berqurban dari hartanya sendiri atas nama diri dan keluarganya baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal, maka mereka tidak akan meninggalkan yang seperti ini untuk berpaling kepada amalan mereka (sebelumnya) tersebut.

Hal-Hal Yang Harus Dijauhi Oleh Seseorang Yang Hendak Berqurban

Jika seseorang hendak berqurban dan telah memasuki bulan Dzulhijjah – baik dengan cara ru’yatul hilal maupun menyempurnakan bulan Dzulqa’dah menjadi 30 hari – maka diharamkan baginya untuk mengambil (memotong) sedikitpun dari rambut, kuku, dan kulitnya sampai dia benar-benar telah menyembelih hewan qurbannya.

Berdasarkan hadits Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

Jika telah masuk sepukuh hari pertama bulan Dzulhijjah, dan salah seorang dari kalian hendak menyembelih hewan qurban, maka tahanlah (tidak memotong) dari rambut dan kukunya.” (HR. Ahmad dan Muslim)

Dan dalam lafazh yang lain:

Maka janganlah menyentuh (mengambil) rambut dan kulitnya sedikitpun sampai dia melaksanakan qurbannya.”

Dan jika niat untuk berqurban itu muncul di pertengahan sepuluh hari tersebut, maka hendaknya dia menahan diri (untuk tidak mengambil/memotong rambut, kuku, dan kulitnya) mulai saat itu juga, dan dia tidak berdosa jika pernah mengambil/memotongnya ketika sebelum berniat.

Hikmah larangan ini adalah bahwasamya seorang yang berqurban, yang berarti dia turut serta bersama jama’ah haji dalam melakukan sebagian amaliah manasik – yaitu dalam bentuk menyembelih hewan qurban – maka dia pun juga harus turut serta (dengan para jama’ah haji) dalam hal sebagian kekhususan (keadaan ketika) ihram, berupa menahan diri (tidak mengambil/memotong) rambut dan yang semisalnya.
Atas dasar ini, maka dibolehkan bagi keluarga orang yang hendak berqurban untuk mengambil/memotong rambut, kuku, dan kulitnya pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah tersebut.

Hukum ini khusus berlaku bagi orang yang hendak berqurban. Adapun bagi Al-Mudhahha ‘Anhu (pihak yang diatasnamakan padanya qurban), maka tidak ada kaitannya sama sekali dengan hukum tersebut karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Dan salah seorang dari kalian hendak menyembelih hewan qurban …”
Dan tidak mengatakan:

“… ataupun juga bagi yang diatasnamakan padanya qurban.”

Di samping itu juga karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dahulu pernah berqurban dengan mengatasnamakan keluarganya, namun tidak pernah dinukilkan dari beliau bahwa beliau memerintahkan mereka (keluarganya) untuk menahan diri (tidak mengambil/memotong) itu semua.

Dan jika orang yang hendak berqurban mengambil/memotong sedikit saja dari rambut, kuku, ataupun kulitnya, maka wajib atas dia untuk bertaubat kepada Allah ta’ala dan bertekad untuk tidak mengulanginya lagi. Tidak diwajibkan bagi dia untuk membayar kaffarah, dan tidak pula menghalangi dia untuk menyembelih hewan qurbannya sebagaimana yang disangka oleh sebagian orang awam [2].
Dan jika mengambil/memotongnya itu disebabkan lupa atau tidak mengerti hukumnya, atau karena rambut tersebut rontok tanpa disengaja, maka tidak ada dosa baginya. Dan jika memang benar-benar sangat diperlukan untuk mengambil/memotongnya (karena darurat), maka yang demikian diperbolehkan baginya dan tidak terkenai tanggungan (dosa) sedikitpun, misalnya ketika kukunya patah yang menyebabkan gangguan padanya, sehingga dia harus memotongnya, ataupun rambutnya terurai ke bawah sampai mengenai kedua matanya sehingga dia harus menghilangkannya, dan juga karena sangat dibutuhkan untuk pengobatan luka dan yang semisalnya.

Diambil dari Maqalat Wa Fatawa Wa Rasail
Fadhilatusy Syaikh Al ‘Allamah Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullahu ta’ala.
diterjemahkan oleh : Ust. Abu ‘Abdillah Kediri dan Abu ‘Amr Ahmad

Senin, November 16, 2009

KEUTAMAAN 10 HARI PERTAMA BULAN DZULHIJJAH DAN AMALAN YANG DISYARIATKAN

Oleh : Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin
Sumber artikel : www.almanhaj.or.id

Segala puji bagi Allah semata, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah, Nabi kita Muhammad, kepada keluarga dan segenap sahabatnya.

Diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Rahimahullah, dari Ibnu 'Abbas Radhiyallahu 'Anhuma bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

"Artinya : Tidak ada hari dimana amal shalih pada saat itu lebih dicintai oleh Allah daripada hari-hari ini, yaitu : Sepuluh hari dari bulan Dzulhijjah. Mereka bertanya : Ya Rasulullah, tidak juga jihad fi sabilillah ?. Beliau menjawab : Tidak juga jihad fi sabilillah, kecuali orang yang keluar (berjihad) dengan jiwa dan hartanya, kemudian tidak kembali dengan sesuatu apapun".

Imam Ahmad, Rahimahullah, meriwayatkan dari Umar Radhiyallahu 'Anhuma, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

"Artinya : Tidak ada hari yang paling agung dan amat dicintai Allah untuk berbuat kebajikan di dalamnya daripada sepuluh hari (Dzulhijjah) ini. Maka perbanyaklah pada saat itu tahlil, takbir dan tahmid".

MACAM-MACAM AMALAN YANG DISYARIATKAN

[1]. Melaksanakan Ibadah Haji Dan Umrah

Amal ini adalah amal yang paling utama, berdasarkan berbagai hadits shahih yang menunjukkan keutamaannya, antara lain : sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam:

"Artinya : Dari umrah ke umrah adalah tebusan (dosa-dosa yang dikerjakan) di antara keduanya, dan haji yang mabrur balasannya tiada lain adalah Surga".

[2]. Berpuasa Selama Hari-Hari Tersebut, Atau Pada Sebagiannya, Terutama Pada Hari Arafah.

Tidak disangsikan lagi bahwa puasa adalah jenis amalan yang paling utama, dan yang dipilih Allah untuk diri-Nya. Disebutkan dalam hadist Qudsi :

"Artinya : Puasa ini adalah untuk-Ku, dan Aku lah yang akan membalasnya. Sungguh dia telah meninggalkan syahwat, makanan dan minumannya semata-mata karena Aku".

Diriwayatkan dari Abu Said Al-Khudri, Radhiyallahu 'Anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

"Artinya : Tidaklah seorang hamba berpuasa sehari di jalan Allah melainkan Allah pasti menjauhkan dirinya dengan puasanya itu dari api neraka selama tujuh puluh tahun". [Hadits Muttafaq 'Alaih].

Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Qatadah Rahimahullah bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

"Artinya : Berpuasa pada hari Arafah karena mengharap pahala dari Allah melebur dosa-dosa setahun sebelum dan sesudahnya".

[3]. Takbir Dan Dzikir Pada Hari-Hari Tersebut.

Sebagaimana firman Allah Ta'ala.

"Artinya : .... dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari-hari yang telah ditentukan ...". [Al-Hajj : 28].

Para ahli tafsir menafsirkannya dengan sepuluh hari dari bulan Dzulhijjah. Karena itu, para ulama menganjurkan untuk memperbanyak dzikir pada hari-hari tersebut, berdasarkan hadits dari Ibnu Umar Radhiyallahu 'Anhuma.

"Artinya : Maka perbanyaklah pada hari-hari itu tahlil, takbir dan tahmid". [Hadits Riwayat Ahmad].

Imam Bukhari Rahimahullah menuturkan bahwa Ibnu Umar dan Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhuma keluar ke pasar pada sepuluh hari tersebut seraya mengumandangkan takbir lalu orang-orangpun mengikuti takbirnya. Dan Ishaq, Rahimahullah, meriwayatkan dari fuqaha', tabiin bahwa pada hari-hari ini mengucapkan :

"Allahu Akbar, Allahu Akbar, Laa Ilaha Ilallah, wa-Allahu Akbar, Allahu Akbar wa Lillahil Hamdu"

"Artinya : Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Tidak ada Ilah (Sembahan) Yang Haq selain Allah. Dan Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, segala puji hanya bagi Allah".

Dianjurkan untuk mengeraskan suara dalam bertakbir ketika berada di pasar, rumah, jalan, masjid dan lain-lainnya. Sebagaimana firman Allah.

"Artinya : Dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu ...". [Al-Baqarah : 185].

Tidak dibolehkan mengumandangkan takbir bersama-sama, yaitu dengan berkumpul pada suatu majlis dan mengucapkannya dengan satu suara (koor). Hal ini tidak pernah dilakukan oleh para Salaf. Yang menurut sunnah adalah masing-masing orang bertakbir sendiri-sendiri. Ini berlaku pada semua dzikir dan do'a, kecuali karena tidak mengerti sehingga ia harus belajar dengan mengikuti orang lain.

Dan diperbolehkan berdzikir dengan yang mudah-mudah. Seperti : takbir, tasbih dan do'a-do'a lainnya yang disyariatkan.

[4]. Taubat Serta Meninggalkan Segala Maksiat Dan Dosa.

Sehingga akan mendapatkan ampunan dan rahmat. Maksiat adalah penyebab terjauhkan dan terusirnya hamba dari Allah, dan keta'atan adalah penyebab dekat dan cinta kasih Allah kepadanya.

Disebutkan dalam hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu, bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Sesungguhnya Allah itu cemburu, dan kecemburuan Allah itu manakala seorang hamba melakukan apa yang diharamkan Allah terhadapnya" [Hadits Muttafaq 'Alaihi].

[5]. Banyak Beramal Shalih.

Berupa ibadah sunat seperti : shalat, sedekah, jihad, membaca Al-Qur'an, amar ma'ruf nahi munkar dan lain sebagainya. Sebab amalan-amalan tersebut pada hari itu dilipat gandakan pahalanya. Bahkan amal ibadah yang tidak utama bila dilakukan pada hari itu akan menjadi lebih utama dan dicintai Allah daripada amal ibadah pada hari lainnya meskipun merupakan amal ibadah yang utama, sekalipun jihad yang merupakan amal ibadah yang amat utama, kecuali jihad orang yang tidak kembali dengan harta dan jiwanya.

[6]. Disyariatkan Pada Hari-Hari Itu Takbir Muthlaq

Yaitu pada setiap saat, siang ataupun malam sampai shalat Ied. Dan disyariatkan pula takbir muqayyad, yaitu yang dilakukan setiap selesai shalat fardhu yang dilaksanakan dengan berjama'ah ; bagi selain jama'ah haji dimulai dari sejak Fajar Hari Arafah dan bagi Jama’ah Haji dimulai sejak Dzhuhur hari raya Qurban terus berlangsung hingga shalat Ashar pada hari Tasyriq.

[7]. Berkurban Pada Hari Raya Qurban Dan Hari-hari Tasyriq.

Hal ini adalah sunnah Nabi Ibrahim 'Alaihissalam, yakni ketika Allah Ta'ala menebus putranya dengan sembelihan yang agung. Diriwayatkan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Artinya : Berkurban dengan menyembelih dua ekor domba jantan berwarna putih dan bertanduk. Beliau sendiri yang menyembelihnya dengan menyebut nama Allah dan bertakbir, serta meletakkan kaki beliau di sisi tubuh domba itu". [Muttafaq 'Alaihi].

[8]. Dilarang Mencabut Atau Memotong Rambut Dan Kuku Bagi Orang Yang Hendak Berkurban.

Diriwayatkan oleh Muslim dan lainnya, dari Ummu Salamah Radhiyallhu 'Anha bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Jika kamu melihat hilal bulan Dzul Hijjah dan salah seorang di antara kamu ingin berkurban, maka hendaklah ia menahan diri dari (memotong) rambut dan kukunya".

Dalam riwayat lain :

"Maka janganlah ia mengambil sesuatu dari rambut atau kukunya sehingga ia berkurban".

Hal ini, mungkin, untuk menyerupai orang yang menunaikan ibadah haji yang menuntun hewan kurbannya. Firman Allah.

"Artinya : ..... dan jangan kamu mencukur (rambut) kepalamu, sebelum kurban sampai di tempat penyembelihan...". [Al-Baqarah : 196].

Larangan ini, menurut zhahirnya, hanya dikhususkan bagi orang yang berkurban saja, tidak termasuk istri dan anak-anaknya, kecuali jika masing-masing dari mereka berkurban. Dan diperbolehkan membasahi rambut serta menggosoknya, meskipun terdapat beberapa rambutnya yang rontok.

[9]. Melaksanakan Shalat Iedul Adha Dan Mendengarkan Khutbahnya.

Setiap muslim hendaknya memahami hikmah disyariatkannya hari raya ini. Hari ini adalah hari bersyukur dan beramal kebajikan. Maka janganlah dijadikan sebagai hari keangkuhan dan kesombongan ; janganlah dijadikan kesempatan bermaksiat dan bergelimang dalam kemungkaran seperti ; nyanyi-nyanyian, main judi, mabuk-mabukan dan sejenisnya. Hal mana akan menyebabkan terhapusnya amal kebajikan yang dilakukan selama sepuluh hari.

[10]. Selain Hal-Hal Yang Telah Disebutkan Diatas.

Hendaknya setiap muslim dan muslimah mengisi hari-hari ini dengan melakukan ketaatan, dzikir dan syukur kepada Allah, melaksanakan segala kewajiban dan menjauhi segala larangan ; memanfaatkan kesempatan ini dan berusaha memperoleh kemurahan Allah agar mendapat ridha-Nya.

Semoga Allah melimpahkan taufik-Nya dan menunjuki kita kepada jalan yang lurus. Dan shalawat serta salam semoga tetap tercurah kepada Nabi Muhammad, kepada keluarga dan para sahabatnya.

[Artikel bahasa Arab dapat dilihat di http://www.saaid.net/mktarat/hajj/4.htm Disalin dari brosur yang dibagiakn secara cuma-cuma, tanpa no, bulan dan tahun]

Kamis, November 12, 2009

PAKAIAN DAN PERHIASAN

Subhanallah betapa Allah amat memperhatikan dan menyayangi hambanya, hingga masalah pakaian dan perhiasan yang baik dan pantas dikenakan oleh hambanya pun di sampaikan dengan jelas dan terinci, hal ini untuk kebaikan dan keselamatan hambanya di dunia dan akhirat.

Allah berfirman dalam Al Qur’an

S. Al A’raaf : 26 yang artinya :

“Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutupi auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat”.

S. An Nur : 31 yang artinya :

“Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.”


Dijelaskan bahwa dalam hal berpakaian Allah memberi petunjuk bagaimana cara memakainya dan bagaimana yang pantas diperlihatkannya dan kepada siapa saja boleh diperlihatkannya terutama bagi wanita beriman. Tidak hanya sebatas itu saja apa yang disampaikanNya bahkan bagaimana kita bersikap dan berlaku sopan santun seperti yang disampaikanNya kepada Nabi Muhammad SAW sebagai berikut :


Allah berfirman dalam Al Qur’an

S. An Nuur : 60 yang artinya :

“Dan perempuan perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan, dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.

S. Al Ahzab : 53 yang artinya :

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak (makanannya), tetapi jika kamu diundang maka masuklah dan bila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa asyik memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu Nabi lalu Nabi malu kepadamu (untuk menyuruh kamu ke luar), dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar. Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka. Dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasulullah dan tidak (pula) mengawini istri-istrinya selama-lamanya sesudah ia wafat. Sesungguhnya perbuatan itu adalah amat besar (dosanya) di sisi Allah.

S. Al Ahzab : 55 yang artinya :

”Tidak ada dosa atas istri-istri Nabi (untuk berjumpa tanpa tabir) dengan bapak-bapak mereka, anak-anak laki-laki mereka, saudara laki-laki mereka, anak laki-laki dari saudara laki-laki mereka, anak laki-laki dari saudara mereka yang perempuan, perempuan-perempuan yang beriman dan hamba sahaya yang mereka miliki, dan bertakwalah kamu (hai istri-istri Nabi) kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu”.

S. Al Ahzab : 59 yang artinya :

“Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha pengampun lagi Maha penyayang”.

Demikianlah Allah telah menjelaskan dalam firmanNya tersebut, jadikanlah hal tersebut sebagai petunjuk bagi hamba Allah yang beriman agar menjadi hamba yang beruntung di dunia dan akhirat.